Congregatio Discipulorum Domini

Para anggota Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menghayati hidupnya sebagai murid dan senantiasa belajar pada Yesus Kristus, sang Guru Agung. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus menjadi ungkapan cinta dan penyerahan diri secara total. Dari sinilah para anggota menimba kekuatan untuk karya kerasulannya sebagai murid yang diutus untuk mempersiapkan orang menyambut Kristus di dalam hidupnya (bdk. Luk 10:1-12).

07 March 2007

Kecelakaan Pesawat

Pagi ini ada berita duka: kecelakaan pesawat lagi. Kali ini Garuda yang mengalami kecelakaan, jatuh di sawah dekat bandara Yogyakarta sewaktu mau mendarat karena angin. Dirut Garuda mengatakan yang pasti 21 orang meninggal. Wah, Indonesia sejak awal tahun dilanda pelbagai bencana. 1 Januari bencana kecelakaan Adam Air yang tidak ditemukan sampai sekarang, tenggelamnya kapal Levina I, lumpur Lapindo yang tak dapat ditangani, angin puting beliung di Yogya, banjir di Jakarta, longsor di Flores, dan terakhir gempa 5,8 Richter di Sumatera Barat.

Sewaktu di Sutomo pagi ini, tiba-tiba saya bertanya-tanya, apa yang bisa kita perbuat. Kerap kali berita bencana ini dan itu datang bertubi-tubi, kita mendengarnya dan ... ya cuma itu. Berita tinggal berita, dan kita hidup seperti biasanya sehari-hari. Apalagi kita merasa tidak ada hubungannya dengan bencana tersebut, entah karena jarak terjadinya yang jauh, atau juga karena tidak ada anggota keluarga yang menjadi korban. Saya berpikir alangkah baiknya kalau kita juga berusaha berbuat sesuatu. Maka tadi saya mengusulkan kepada kepala sekolah bagaimana kita sebagai seorang kristiani harus menyikapi hal-hal seperti ini.

Muncullah ide ini. Murid-murid Kolese St. Yusup mayoritas adalah chinese born. Maka mereka juga perlu diajari agar mempunyai empati terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, agar mereka tidak hidup di dunianya sendiri. Maka apakah ada kemungkinan kepala sekolah mencoba mengumpulkan seluruh siswa dan guru untuk mengadakan gerakan doa bersama untuk bangsa dan negara. Gerakan ini hendaknya diadakan secara rutin, entah seminggu sekali, entah sebulan sekali, dan bersifat ekumenis. Saya teringat akan Doa untuk Perdamaian yang diprakarsai oleh Paus Yohanes Paulus II yang mengumpulkan para pemimpin agama seluruh dunia untuk berdoa di Asisi. Untuk pihak sekolah, hendaknya tidak membuat suatu acara yang bertele-tele. Cukuplah misalnya, seperti Sutomo yang pulang lebih awal setiap Rabu, Jumat dan Sabtu, dengan memilih salah satu hari itu. Katakanlah gerakan doa bersama ini diadakan seminggu sekali. Maka pada hari Rabu para murid dan guru berkumpul bersama di aula sesudah pulang, lalu diadakan puji-pujian, kemudian doa secara katolik, disertai dengan bacaan dari Kitab Suci (tidak usah ayat yang panjang-panjang), hening sejenak, dan kemudian ditutup dengan doa secara Katolik (teks doa sudah disusun). Setelah itu dilanjutkan dengan doa dari masing-masing agama siswa.

Apakah ide ini dapat terlaksana? Semua tergantu kepada pimpinannya, entah itu kepala sekolah, terutama tentu saja para imam CDD yang bekerja di Yayasan. Kita harus mempunyai kepekaan dan belajar untuk mengembangkan empati kepada mereka yang menderita kemalangan. Semoga ide ini mendapat tanggapan yang positif.

Pengalaman di Malaysia

Sewaktu kembali ke Indonesia setelah pemeriksaan kesehatan, Br. Giyanto mengatakan dokter-dokter yang memeriksa tidak menemukan penyakit apa pun. Ada dua orang dokter yang menangani kakinya yang bengkak. Yang satu adalah dr. Law ahli ortopedi, dan satu lagi dr. Vijay ahli vernaculer (pembuluh darah). Penyakitnya dapat dianggap seperti "varises", yakni pembengkakan pembuluh darah. Tidak ada obat yang harus di minum. Cuma satu saja perbedaannya sewaktu dia kembali: pakai kaus kaki. Ini adalah kaus kaki khusus, yang membantu agar pembuluh darahnya tidak membengkak lebih besar.

Setelah kami amati, memang kakinya tidak lagi sebesar sebelumnya, sudah agak mengempis. Tetapi akan berapa lama? Tergantung kesetiaanya memakai kaus kaki. Sebab kata dokter, kalaupun dioperasi, maka setelah satu dua tahun akan kembali bengkak seperti itu.

Sementara menunggu hasil pemeriksaan, Br. Giyanto melewati hari Imlek di Paroki St. Ignatius (St. Ignatius Church) di Petaling Jaya. Apa kesannya? Misa imlek di sana biasa-biasa saja. Barangkali seperti Misa Tahun Baru 1 Januari. Malahan Misa Imlek di Indonesia dirayakan luar biasa meriah. Hmmm. Menarik juga ya. Lalu selama di sana dia sering diajak makan di rumah umat. Selalu saja ada sup. Menariknya, lama-lama rasanya ya itu-itu saja. Lha, Bruder, mau rasa apa lagi. Memang itu kan Chinese food. Ya rasanya seperti itu. Tetapi katanya Chinese food di Indonesia lebih enak, karena terasa bumbunya. Hahaha.

So bagaimana pun tinggal di Indonesia lebih baik. Tentu saja, kata orang Home Sweet Home.

Tugas Baru

Br. Giyanto sudah cukup lama di sini, sejak Rm. Yandhie terpilih sebagai provinsial. Dia ditugaskan menjadi bendahara provinsial. Namun dalam prakteknya adalah bendahara biara. Namun dia tidak mempersoalkan hal itu. Yang penting baginya adalah sejauh tugas yang dijalankannya berguna bagi orang lain. Jadi sudah kira-kira lima tahun dia tinggal di Batu. Sebenarnya sudah sejak akhir tahun lalu Br. Giyanto hendak ditugaskan di tempat lain. Namun karena tenaganya untuk mengurus keuangan masih sangat di butuhkan, sementara Br. Andre belum siap, maka perpindahannya agak ditunda.

Selain itu, provinsial berpikir untuk memeriksakan penyakitnya. Selama ini Br. Giyanto tidak pernah mengeluh tentang kakinya yang bengkak. Dia katakan apa yang perlu dikeluhkan, karena tidak merasakan sakit apa pun. Hanya kalau terlalu banyak jalan, barulah akan terasa sakit. Karena itulah pada tanggal 8 Februari 2007 Provinsial mendampingi Br. Giyanto memeriksakan penyakitnya ke Malaysia. Mereka berdua rencananya mau ke Malaka untuk berobat, karena informasi di Indonesia bahwa dokter dan perawatan di sana lebih baik dan murah. Namun setelah tiba di Kuala Lumpur, Rm. Martin Then justru menyarankan untuk memeriksakan penyakit itu di KL saja. Alasannya karena di Malaka justru fasilitas kesehatan tidak sebaik di KL. Jadilah provinsial dan bruder tinggal di KL sambil menunggu hasil pemeriksaan.

Setelah kembali ke Indonesia, Br. Giyanto masih beberapa waktu tinggal di Batu sambil mempersiapkan Br. Andre mengambil alih tugasnya. Maka pada tanggal 5 Maret ini secara resmi Br. Giyanto pindah ke Sawiran. Sementara ini, sesuai dengan pembicaraan Rm. Sukamto dengan Rm. Provinsial, Br. Giyanto akan ditugaskan sebagai koordinator kantor Sawiran, sambil sekali-sekali membantu pembinaan.

Maka selamat bertugas, Bruder. Selama di Batu Anda sudah banyak melayani dan mengurus rumah tangga biara Batu dengan baik sekali. Kami semua merasa kehilangan.