Congregatio Discipulorum Domini

Para anggota Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menghayati hidupnya sebagai murid dan senantiasa belajar pada Yesus Kristus, sang Guru Agung. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus menjadi ungkapan cinta dan penyerahan diri secara total. Dari sinilah para anggota menimba kekuatan untuk karya kerasulannya sebagai murid yang diutus untuk mempersiapkan orang menyambut Kristus di dalam hidupnya (bdk. Luk 10:1-12).

14 March 2007

Hati-hati dengan Sinkretisme!

Membaca apa yang tertulis dalam majalah Hidup tentang praktek Misa Cie Shua (Ci Suak) 祭煞 jisha, saya jadi kaget. Rupanya tradisi Tionghua begitu menarik banyak orang merasa ini sesuatu yang bisa dipraktekkan di mana-mana. Apalagi di dalam Gereja Katolik, yang mempunyai rasa toleran yang begitu besar dan berusaha untuk mengadakan inkulturasi terhadap budaya yang dihadapinya.

Sayangnya, kerap kali inkulturasi ini tidak disertai dengan pemahaman akan budaya yang tepat. Yang terjadi bukannya inkulturasi, melainkan sinkretisme. Maka apa yang dilakukan di 福安庙 Hok An Bio (kata klenteng tidak perlu disebut lagi karena 庙 miao4 atau bio sudah berarti klenteng) sudah masuk ke wilayah sinkretis. Karena bila diadakan Misa, ya cukup hanya dengan Misa. Beberapa tahun yang lalu Keuskupan Malang dengan tegas melarang adanya Misa Penyembuhan. Misa sendiri sudah menyembuhkan orang secara lahir dan rohani, tidak dengan penyembuhan model macam-macam. Apalagi dengan Misa + Jisha. Dua ritus dari dua agama yang berbeda disatukan. Tentu saja yang berhak menentukan ini boleh dijalankan atau tidak boleh adalah Uskup. Namun Uskup perlu mendapatkan masukan yang lebih tepat dari orang-orang yang mengerti praktek dan tradisi Tionghua dan penerapannya dalam liturgi.

Apalagi komentar Pastor Bruno Hendra Tjahja yang mengatakan bahwa "Misa Cie Shua ... bukan pemujaan sesat dan juga bukan ibadat agama Buddha." Perlu saya ditambahkan bahwa itu juga bukan ibadat Gereja Katolik! Jadi? Dalam Misa imlek di Tidar saya tekankan bahwa dengan mengikuti Misa saja sudah cukup! Dengan menyambut komuni suci, yakni Tubuh dan Darah Kristus, kita sudah mendapatkan jaminan keselamatan dari Allah. "Barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku" (Yoh 6:57). Atau lebih jelas lagi dalam Yoh 6:51 Yesus mengatakan: "Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia." Dengan demikian, mengikuti Misa saja sudah merupakan hal yang luar biasa. Sementara itu dengan jisha, apa yang mau dibuat? Melepaskan orang dari pengaruh jahat? Apakah tubuh dan darah Kristus yang kita terima masih kurang? Karena itu, kalau masih dalam rangka perayaan imlek, seorang imam hendaklah menekankan pentingnya Misa itu sendiri sebagai bekal hidup kita di dunia. Kristus sudah datang ke dunia untuk menyelamatkan kita, mengapa kita masih takut dan melakukan pelbagai macam ritual yang tidak kristiani?

Dari dalam diri seorang pewarta, terutama imam yang sudah diurapi sewaktu ditahbiskan, haruslah mengajak umat untuk memfokuskan pandangannya kepada Kristus. Bahaya apa pun selalu mengancam, terutama bagi kita yang mau setia kepada Kristus. Tetapi tidak berarti kita harus kompromi dengan ritus-ritus yang tidak sesuai dengan iman kita.

Sekali lagi, dalam berinkulturasi, berhati-hatilah terhadap bahaya sinkretisme!


Misa Cie Shua ??? (2)

Dari Majalah Hidup No 10 Tahun ke-61, 11 Maret 2007, halaman 16:

BUKAN PEMUJAAN SESAT

Pastor Bruno Herman Tjahja SJ mengatakan, umat Tionghoa tidak dilarang menyelenggarakan dan mengikuti Misa Cie Shua. "Sebetulnya tradisi di klenteng hanya budaya, bukan agama," ujarnya.

Lebih lanjut, ia menerangkan, Misa Cie Shua yang diadakan di Kecamatan Gubug, Jawa Tengah bukanlah pemujaan sesat dan juga bukan ibadat agama Buddha. Misa tersebut jelas-jelas berada dalam aturan Gereja Katolik. Misa itu tidak ada bedanya dengan Misa pada umumnya, hanya nuansanya beradat Cina.

Berkaitan dengan penggunaan hio pada Misa itu, ia menuturkan, "Katolik juga menggunakan dupa. Itu kan hanya cara menyembah Tuhan. Jadi, tidak masalah asal yang dituju Tuhan Yesus." Ia menambahkan, dengan adanya kapel di Gubug, umat Katolik di tempat itu memperoleh tempat untuk beribadat.

Maretta P. S.

Misa Cie Shua ??? (1)

Dari Majalah Hidup No 10 Tahun ke-61, 11 Maret 2007, halaman 15:

MISA CIE SHUA DI KAPEL HOK AN BIO

Tujuh hari setelah Tahun Baru Cina, Imlek 2558, masyarakat Tionghoa merayakan Cie Shua. Yang beragama Konghucu dan Buddha beribadat di klenteng. Mereka memohon agar di tahun mendatang, mereka mendapatkan berkat dan keselamatan. Mereka mengadakan ruwatan. Sedangkan yang beraga Katolik mengadakan Misa Cie Shua.

Misa tersebut diadakan di Kapel Hok An Bio, Kecamatan Gubug, Kabutpaten Grobogan, Jawa Tengah, Minggu, 25/2. Misa dipimpin Pastor Pembantu Paroki Santo Petrus dan Paulus, Mangga Besar , Jakartya Barat, Bruno Herman Tjahja SJ. Untuk kedua kalinya ia memimpin Misa Cie Shua di kapel yang sama, yang letaknya berdampingan dengan klenteng.

Sebagian warga Tionghoa yang menjadi Katolik masih meneruskan tradisi tersebut. Pada perayaan Cie Shua, mereka tetap bertandang ke klenteng. "Untuk itulah kami mengdakan Misa Cie Shua. Supaya mereka tidak lagi mendua, Katolik atau Konghuchu," ucap Robert Azwan, salah seorang penggagas Misa Cie Shua. Dengan demikian, saat Cie Shua masyarakat Tionghoa Katolik tetap beribadat sesuai keyakinannya, yaitu memohon berkat dan keselamatan pada Tuhan Yesus Kristus.

Kental adat

Perayaan Ekaristi tersebut tampak sederhana. Meski demikian adat Cina terasa kental. AWarna merah lambang suka cita terlihat bertebaran di kapel berukuran 8x2,5 meter. Meja altar yang dipakai juga sederhana. Hanya berukuran 1,5x1 meter ditutup kain merah. Di kanan dan kiri altar terdapat batang dan daun tebu.

Di kaki altar diletakkan aneka persembahan, antara lain bakpau bertuliskan fuk yang berarti keberuntungan atau hoki, buah delima, jeruk, pear, anggur, srikaya dan hio. Semuanya itu memiliki arti tertentu.

Menurut Adhi N. Winata, salah seorang penggagas Misa Cie Shua, tujuan mempersembahkan buah srikaya agar di tahun mendatang umat Tionghoa memperoleh damai sejahtera dan kekayaan. Makna buah delima, yakni agar mereka memperoleh berlian. Tebu dikamnai agar mereka memperoleh kehidupan berkeluarga yang manis.

Pada Misa itu, Pastor Herman mengenakan pakaian Cina, mirip pakaian hakim Cina. Namun, pakaian tersebut dirancang dalam napas Katolik. "Jadi, kami menggunakan simbol Katolik," jelas Adhi. Misalnya, di sebelah kanan dan kiri topi atau mahkota yang melingkar di kepala terdapat telinga panjang. Artinya, pastor secara bijaksanan mendengarkan keinginan umat.

Di awal Misa, Pastor Herman memerciki air yang sudah diberkati ke umat. Dlaam khotbahnya, ia menyarankan agar di tahun yang baru, umat Tionghoa selalu berdoa dan berharap pada Yesus. "Kalau kita mau mencari kesejahteraan hidup bukan berarti kita santai-santai saja, tetapi kita harus bekerja keras," Sarannya. Ia juga meminta umat percaya kepada Yesus.

Beberapa tradisi Cina juga dilakukan dalam Misa itu. Sebelum Anak Domba Allah, Pastor Herman memberikan penghormatan keapda Tubuh Kristus dengan adat Cina, yaitu pay kwie atau membungkuk sebanyak tiga kali. Saat membungkuk untuk memberi penghormatan kepada Tubuh Kristus, ia memegang sebuah hio yang sudah dinyalakan. Setelah itu, umat mengikutinya. Mereka menirukan pastor dalam memberikan penghormatan secara pay kwie sambil memegang hio yang sudah dinyalakan.

Usai Misa mereka mengadakan doa pertobatan dan penyembahan yang dipandu salah seorang umat. Tepat pukul 24.00 WIB, umat Tionghoa Katolik melakukan King Ti Khong, yaitu penyembahan pada Tuhan. Untuk itu, di meja altar terdapat Tubuh Kristus.

Kapel dan klenteng

Kapel Hok An Bio tidak hadir begitu saja di Klenteng Hok An Bio. Tahun 2002, tepatnya saat perayaan Nabi Hok Tik Tjing Sien (Dewa Bumi), salah seorang umat Buddha yang menghadiri perayaan di klenteng itu mengusulkan agar patung Kongco dan Makco ditakhtakan. Yang dimaksud Kongco adalah Yesus Kristus, sementara Makco adalah Bunda Maria.

Waktu itu umat Buddha dan para pengurus Yayasan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Amurva Bumi Klenteng Hok An Bio Gubug ragu-ragu dengan usulan tersebut. Akhirnya, umat Buddha Gubug, pengurus yayasan, dan umat Buddha di luar daerah Gubug yang menghadiri perayaan tersebut sepakat meminta izin keapda Hok Tik Tjing Sien selaku nabi tuan rumah Vihara Hok An Bio.

"Jadi, kami tidak sembarangan mendirikan kapel ini," tutur Ketua Yayasan TITD Amurva Bhumi Klenteng Hok An Bio Gubug, Agus Wijanarko.

Ternyata Hok Tik Tjing Sien mengizinkan mereka menakhtakan patung Bunda Maria dan Yesus Kristus di klenteng itu. Patung tersebut akhirnya ditempatkan di sebuah ruangan berukuran panjang 8 meter dan lebar 2,5 meter. "Awalnya, tempat itu gudang. Kami juga belum berpikiran menjadikan ruangan itu sebagai ruang doa atau kapel. Tujuan kami hanya meletakkan patung tersebut," tuturnya. Tahun berikutnya, 2006, tepat pada Misa Cie Shua, kapel itu diberkati Pastor Herman.

Kehadiran kapel tersebut pernah mengundang pro kontra. "Awalnya, ada umat Buddha dari luar Kota Gubug yang tidak suka dengan pendirian kapel. Mereka menilai pendirian kapel di samping klenteng merupakan pelecehan. Untunglah, sekarang masalahnya sudah selesai," tegas Agus. Padahal, kata Agus, pendirian kapel semata-mata hanya untuk saling menghormati antar pemeluk agama.

Pihak Keuskupan Agung Semarang rupanya mengetahui keberadaan kapel tersebut. Menurut Agus, Uskup Agung Semarang Mgr. Ignatius Suharyo Pr tidak pernah melarang pendirian kapel tersebut. "Kapel biasanya juga digunakan umat Gubug untuk sembahyangan wilayah."

Kerukunan antaragama

Rencananya, pihak Yayasan Klenteng Hok An Bio akan memperluas lahan guna pendirian mushola. "Rencananya, sebelah rumah akan kami beli untuk mushola. Masyarakat Muslim di sekitar sini bisa menggunakannya. Jadi, kami bersama-sama bisa menjalankan ibadat menurut keyakinan masing-masing," ungkap Agus.

Toleransi antarumat beragama Gubug memang terbina baik. Salah satu buktinya, ketika umat Buddha di tempat itu mengadakan perayaan keagamaan, umat Katolik dan Muslim hurut hadir. "Kalau ada acara di Klenteng, pendeta, suster, dan haji datang," jelas Agus.

Bukti lainnya, Agus sebagai pemeluk Katolik ditunjuk sebagai Ketua Yayasan Klenteng Hok An Bio. Ia dipilih umat Buddha dan ketua yayasan sebelumnya. Namun, ia juga dipilih melalui Pwa Pwee.

Maretta P. S.