Congregatio Discipulorum Domini

Para anggota Congregatio Discipulorum Domini (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menghayati hidupnya sebagai murid dan senantiasa belajar pada Yesus Kristus, sang Guru Agung. Kunjungan kepada Sakramen Mahakudus menjadi ungkapan cinta dan penyerahan diri secara total. Dari sinilah para anggota menimba kekuatan untuk karya kerasulannya sebagai murid yang diutus untuk mempersiapkan orang menyambut Kristus di dalam hidupnya (bdk. Luk 10:1-12).

21 June 2008

Tujuan Prosesi


Dalam pembahasan tentang prosesi pada Hari Raya Corpus Christi para novis CDD menggali maksud dan tujuan prosesi Sakramen Mahakudus. Di dalam Eucharisticum Mysterium 59 disebutkan demikian: "In processions in which the Blessed Sacrament is solemnly carried through the streets to the singing of hymns, especially on the feast of Corpus Christi, the Christian give public witness to their faith and devotion toward this sacrament."

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prosesi Sakramen Mahakudus mengandung arti:
  1. Kristus sendiri yang hadir melawat umat-Nya dan memberikan kelepasan baginya (Luk 1:68.78; 7:16).
  2. Kristus masih tetap berkeliling mengunjungi umat-Nya seperti dahulu Dia berkeliling di seluruh Galilea, "melenyapkan segala penyakit dan kelemahan" (Mat 4:23), "menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, ..., memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Luk 4:18-19).
  3. Menyatakan kemuliaan Allah yang menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus (bdk. Yoh 11:40, 12:24-29).
  4. Memberkati dan menyucikan umat-Nya (Mrk 10:16; Luk 24:50).
  5. Umat Kristiani memberikan kesaksian akan imannya (EM 59).
Dengan demikian prosesi Sakramen Mahakudus merupakan suatu tindakan ibadah yang sangat indah. Dalam Eucharistiae Sacramentum 101-104 Gereja sangat menganjurkan prosesi dijalankan sedapat mungkin dalam Hari Raya Corpus Christi, yang diadakan setelah Misa Kudus.

Prosesi Sakramen Mahakudus

Brosur untuk Prosesi Sakramen Mahakudus
Menjelang perayaan Corpus Christi, Yayasan Kolese Santo Yusup hendak mengadakan prosesi Sakramen Mahakudus. Prosesi ini pertama kali diadakan tahun lalu 2007, pada penutupan Perayaan 75 Tahun CDD. Melihat kerinduan dan kecintaan umat yang begitu besar, para anggota CDD merasa perlu meneruskan penghormatan kepada Sakramen Mahakudus dengan liturgi prosesi. Rencananya perayaan prosesi ini akan dibuat setiap tahun. Untuk itu pada tahun ini dibuat brosur untuk dibagikan kepada umat. Tujuannya adalah agar umat mengerti asal muasal prosesi ini, dan maknanya. Selain itu, dicetak juga lagu-lagu untuk dinyanyikan selama prosesi, yang sekaligus juga dipakai untuk melindungi lilin dari tiupan angin. Isi brosur yang dibagikan itu adalah:

Yesus Kristus di Tengah Kita!
Banyak orang sulit percaya akan kehadiran nyata Yesus di dalam Sakramen Mahakudus, mereka merasa heran, bagaimana roti bisa menjadi Tubuh Kristus. Yesus pun mempunyai kesulitan yang sama meyakinkan para murid-Nya sewaktu Dia mengatakan bahwa Dia akan memberikan tubuh dan darah-Nya sebagai makanan dan minuman. Banyak pengikut-Nya tidak percaya, dan meninggalkan Dia (Yoh 6:25-66). Yesus pun tidak mencoba membujuk mereka kembali kepada-Nya dengan mengatakan, “Eh, tunggu sebentar! Kalian salah mengerti! Aku berbicara secara simbolis.” Tidak! Dia membiarkan mereka pergi. Jika mereka tidak mempercayai Dia, mereka tidak dapat menjadi murid-Nya.
Kita mengimani kehadiran Yesus hanya karena alasan ini: Yesus Kristus sendiri yang mengatakannya, dan kita percaya kepada-Nya.
Sampai hari ini kita tetap percaya dan ingin senantiasa bisa bersama Yesus. Yesus menjawab kerinduan ini dengan hadir di dalam rupa Hosti suci (roti yang dikonsekrasi dalam Misa), dan ditahtakan di dalam tabernakel. Dalam keheningan, sambil memandang Dia, kita merasakan kehadiran-Nya dan menyadari betapa Yesus mencintai kita sampai sehabis-habisnya.
Ibu Teresa mengatakan: “Sewaktu kita memandang salib, kita tahu betapa dahulu Yesus sangat mencinta kita. Sewaktu kita memandang tabernakel, kita tahu betapa sekarang Yesus sangat mencintai kita.”

Tradisi yang Sangat Kristiani
Kehadiran Kristus dalam rupa roti dan anggur sangat diyakini oleh umat sejak jaman dahulu, mulai dari jaman para rasul. Kemudian pada tahun 1264 Paus Urbanus IV menetapkan satu hari untuk merayakan Tubuh dan Darah Kristus. Kemudian, dalam abad ke 16, Konsili Trente menyatakan bahwa “Putra Allah yang tunggal hendaknya dihormati di dalam Sakramen Ekaristi disertai penyembahan dan ibadah lahiriah. Karena itu, Sakramen Mahakudus dihormati secara khusus dengan upacara meriah dan diarak dari satu tempat ke tempat lain dalam suatu prosesi dengan upacara khusus dan sesuai dengan kebiasaan Gereja kudus. Sakramen ini hendaknya diperlihatkan agar umat dapat menghormatinya.” Paus Klemens VII menerbitkan dokumen historis yang dikenal dengan nama Quarant Ore (Empat Puluh Jam) - di mana gereja-gereja diatur sedemikian rupa agar setiap jam, dari pagi sampai malam, umat tiada henti-hentinya memanjatkan doa-doa di hadapan Tuhan.
Melalui Adorasi dan Prosesi Sakramen Mahakudus, kita dapat melihat betapa Yesus Kristus senantiasa dekat dengan kita, mencintai kita dan menyerahkan seluruh hidup-Nya bagi kita.

Bersatu Dengan Kristus
Konsili Vatikan II mengajarkan kita bahwa Ekaristi Suci adalah “sumber dan puncak hidup Kristiani” (LG 11). Karena itulah Misa menjadi pusat kegiatan ibadah umat Kristiani. Konsili Vatikan II mendorong umatnya mengadakan adorasi Sakramen Mahakudus di luar Misa. Devosi ini bersumber dari kurban Misa dan menggerakkan umat untuk bersatu secara sakramental dan spiritual dengan Tuhan (Eucharisticum Mysterium No. 50). Paus Pius XII juga mengajar kita dalam Mediator Dei: “Praktek adorasi ini memiliki dasar yang sah dan kuat.” Paus Yohanes Paulus II berulangkali “sangat menganjurkan” devosi publik dan pribadi terhadap Sakramen Mahakudus, yang disertai dengan prosesi pada hari raya Tubuh dan Darah Kristus dan Adorasi 40 Jam (bdk. Dominicae Caenae No. 3; Inaestimabile Donum No. 20-22, dan Ecclesia de Eucharistia No. 25). Paus Benediktus XVI sendiri berkali-kali menyerukan agar semakin banyak orang mencintai Yesus Kristus dan mengalami kehadiran-Nya melalui adorasi dan prosesi Sakramen Mahakudus.

Sakramen Mahakudus dalam CDD
Bapa Pendiri CDD, Celso Costantini, sangat mencintai Yesus Kristus yang hadir dalam Sakramen Mahakudus. Menurut Celso, Sakramen Mahakudus adalah nafas hidup kita (bdk. IVAD III,16). Dari situlah para anggota Kongregasi Murid-murid Tuhan menimba kekuatan untuk karya dan pelayanannya. “Dalam Ekaristi kita menemukan kasih yang paling besar dan paling dalam” (IVAD 6).

Berjalan Bersama Yesus
Cinta kepada Yesus yang hadir dalam Sakramen Mahakudus, menghormati Yesus dalam rupa Roti, bersatu dengan Yesus secara spiritual dalam adorasi dan prosesi Sakramen Mahakudus membuat para anggota Kongregasi Murid-murid Tuhan (CDD) tergerak mengajak semua umat Kristiani mengadakan adorasi dan prosesi Sakramen Mahakudus agar:

  1. Menyadari betapa Yesus mencintai kita sehabis-habisnya dan memberikan kepada kita tubuh-Nya sendiri sebagai makanan sejati.
  2. Bersama Yesus yang mau terus berada di tengah-tengah kita dalam rupa roti dan menguatkan kita dalam perjalanan menuju kediaman surgawi.
  3. Kita tidak pernah sendirian di dunia ini, karena kita senantiasa berjalan bersama Yesus dalam peziarahan hidup ini.
  4. Mendapatkan kekuatan dalam menjalankan perintah Tuhan: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15).
Prosesi Sakramen Mahakudus mengajak kita untuk selalu mengikuti Yesus dalam perjalanan hidup kita, dan menjadikan Yesus sebagai kompas peziarahan kita, sebagaimana bangsa Israel yang dibimbing tiang awan pada siang hari dan tiang api pada malam hari (Kel 14:21). Tiada hari tanpa Ekaristi, tiada hari tanpa menerima cinta Kristus, dan tiada hari tanpa meng-ungkapkan cinta kepada Kristus yang ada di tengah kita dalam Sakramen Mahakudus, sebab Dialah manna sejati dari surga (bdk. Yoh 6:25-58).

20 June 2008

St. Fransiskus Regis Clet

PERINGATAN 18 FEBRUARI
Fransiskus Regis Clet, adalah anak ke sepuluh dari lima belas bersaudara, dilahirkan dalam keluarga petani di Grenoble di Baratdaya Perancis pada tahun 1748. Nama ini diberikan kepadanya mengikuti nama seorang Yesuit kelahiran Grenoble juga yang pada waktu itu dinyatakan sebagai orang suci (santo): Jean Francois Regis. Setelah menyelesaikan pendidikan di Royal Colege (didirikan oleh Yesuit), dia mengikuti kakak tertua dan kakak perempuannya untuk hidup membiara. Pada tahun 1749 dia masuk ke Kongregasi Misi (Vincentian) di Lyons . Setelah ditahbiskan, Fransiskus mengajar sebagai guru besar teologi moral di seminari Vincentian di Annecy, di mana dia mendapat julukan “perpustakaan berjalan” karena pengetahuannya yang luas dan kecakapan akademisnya. Pada tahun 1786 dia menjadi Rektor seminari, dan dua tahun kemudian menjadi magister Novis di Paris. Berkali-kali Fransiskus Regis Clet memohon kepada para pembesarnya agar mengijinkan di pergi ke China sebagai misionaris, namun mereka tidak mengabulkan permohonannya sampai 1791. Pada usia 43 dia menggantikan imam lain yang pada detik terakhir keberangkatan membatalkan niatnya. Seorang konfrater mencatat penugasan Clet ke China demikian: “Dia memiliki segala kualitas yang diperlukan: kesucian, pengetahuan, kesehatan dan daya tarik.”
Setelah enam bulan berlayar dari Perancis dan menunggu di Macau beberapa waktu, serta menyesuaikan diri dengan pakaian dan kebiasaan orang China, misionaris baru ini tiba di Jiangxi pa-da bulan oktober 1792. Dialah orang Eropa satu-satunya di daerah itu. Usaha untuk masuk ke dalam budaya setempat terhambat karena kesulitan bahasa. Pada tahun 1793 Clet bergabung dengan dua orang orang China saudara sekongregasi di Hou Kuang di Propinsi Hubei, di mana mereka berdua meninggal pada tahun pertama; seorang karena dipenjarakan dan yang lain lagi karena kelelahan. Pada tahun yang sama, Clet diangkat menjadi superior untuk para misionaris Vincentian yang tersebar di seluruh negeri itu, dan dia sendiri berpastoral di wilayah yang luasnya 270 ribu mil. Dalam masa kepemimpinannya itu, dia menyusun standar yang dipakai sebagai acuan umum dalam pelayanan (sakramental dan katekese) di antara para misionaris.
Pada tahun 1811, pengejaran dan penindasan anti kristiani semakin memanas di China, dan orang-orang kristiani dituduh mendorong pemberontakan terhadap dinasti yang berkuasa. Selama beberapa tahun Clet diserang dan diperlakukan tidak adil, yang kerap kali membuat dia terpaksa mengungsi ke pegunungan. Pada tahun 1819 Clet dan seorang konfrater China menjadi orang yang dicari-cari dengan imbalan uang. Sebagaimana seperti yang terjadi pada Yesus, Clet akhirnya dikhianati oleh orangnya sendiri, yakni seorang kepala sekolah Katolik yang ditegur Clet karena skandalnya. Dan seperti Santo Paulus, Clet pun dipermalukan dan dipaksa berjalan sejauh beratus-ratus mil dengan kaki dirantai.
Pada 1 Januari 1820 Clet dinyatakan bersalah dengan tuduhan: menipu orang China dengan mewartakan ajaran Kristus; dan diapun dihukum dengan diikat di salib. Dan pada tanggal 18 Februari, atas ijin Kaisar, Fransiskus Regis Clet dihukum mati. Seperti yang terjadi pada Yesus, orang-orang kristiani kemudian mengambil jenazahnya dan memakamkannya di bukit di sekitar sana. Beberapa belas tahun kemudian jenazahnya dibawa ke rumah induk Vincentian. Pada tanggal 27 Mei 1900 Clet dibeatifikasi, dan tanggal 1 Oktober 2000 dia dikanonisasi bersama 119 Martir China oleh Paus Yohanes Paulus II. Sekarang jenazahnya disemayamkan di gereja St. Lazare, rumah induk Kongregasi Misi di Paris.

16 June 2008

Mengenal Bapa Pendiri CDD


Dalam sebuah website, dikutip dari buku Biographical Dictionary of Christian Missions, tulisan Gerald H. Anderson, dan diterbitkan oleh Wm. B. Eerdmans Publishing Co. Grand Rapids, Michigan, 1998. Kutipan ini menyinggung juga peran Celso Costantini dalam sejarah misi di China.


Costantini, Celso
1876-1958
Roman Catholic Church
Shanghai, China


Costantini, Celso, promotor Gereja lokal pribumi dan utusan pertama tahta suci untuk China, kelahiran Italia.

Dengan jabatan Uskup Agung, Costantini tiba di china pada akhir 1922 dan segera menerapkan petunjuk yang digariskan oleh Paus Benediktus XV dalam ensiklik misinya Maximum illud (1919). Dalam Konsili Pertama China, demikian sebutannya, yang diadakan di Shanghai dari 15 Mei sampai 13 Juni 1924 dia mengumpulkan semua pimpinan misi Katolik di China, perwakilan berbagai tarekat misi, dan perwakilan klerus Chinese untuk merencanakan suatu perubahan umum Gereja Katolik di China. Dalam konsili itu mereka bersama-sama menunjukkan persoalan-persoalan mendesak, seperti keteganan antara imam pribumi dan asing, promosi terhadap klerus Chinese dan tahbisan uskup Chinese, pembentukan komisi-komisi baru untuk karya kerasulan, dan pembebasan Gereja dari pengaruh politik protektorat Perancis. Meskipun mendapatkan penolakan dari beberapa uskup asing, usaha Costantini yang tegas selama tiga belas tahun tugasnya di Chinas membuahkan hasil yang baik. Pembinaan misionaris mulai menekankan pengertian dan penghargaan terhadap kebudayaan China. Imam-imam Chinese semakin banyak menduduki posisi yang penting. Sewaktu Costantini tiba di china, Gereja Katolik berada di bawah kontrol pihak asing; pada saat konsili diadakan pada tahun 1924 sudah ada tiga prefektur apostolik yang dipimpin oleh prelatur Chinese. Dua tahun kemudian, pada bulan Oktober 1926, Paus Pius XI mentahbiskan enam uskup Chinese (tahbisan pertama sejak 1685). Pada tahun 1933, sewaktu Costantini menyelesaikan tugasnya, 19 dari 119 wilayah kegerejaan sudah berada di tangan uskup Chinese. Utusan Paus ini juga menyumbangkan pemikiran bahwa orang Chinese mempunyai tanggung jawab utama mentobatkan bangsanya sendiri sewaktu dia mendirikan Kongregasi Murid-murid Tuhan (CDD) pada tahun 1926 [sic!], suatu kongregasi Chinese, untuk menularkan semangat misi kepada klerus lokal. Costantini, yang sangat menghargai kesenian suci (gerejawi), sangat mendukung pengembangan kesenian rohani chinese. Melalui pengaruhnya, bangunan-bangunan gereja dengan gaya China, patung-patung, lukisan-lukisan, dan musik mulai diterima di dalam Gereja Katolik. Dari tahun 1935-1953 Costantini menjadi sekretaris Propaganda Fide di Roma. Pada thaun 1953 Paus Pius XII melantiknya menjadi kardinal. Sampai akhir hayatnya Costantini merupakan tokoh utama dalam menolong para misionaris dan gereja-gereja lokal yang berakar pada kebudayaan lokal mereka dan yang dipimpin oleh uskup-uskup pribumi. Dia berhasil menolong Tahta Suci membebaskan diri dari sistem protektorat dan implikasi nasionalistik (penjajahan).

Jean-Paul Wiest

Bibliography
Tulisan-tulisan paling utama Costantini adalah La Crisi Cinese e il Cattolicismo (1931), Aspetti del problema missionario (1935), L'arte Christiana nella missioni. Manuale d'arte per i missionari (1940), Con i missionari i Cina (1954; tiga jilid dari catatan harian dia sebagai utusan apostolik), dan Ultime foglie (1954; memoar Costantini sebagai sekretaris Propaganda Fide). Jean Bruls mengumpulkan dan menterjemahkan pelbagai tulisan ini dalam Celso Costantini, Reform des Missions au XXe siecle (1960).